Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Tuesday, February 08, 2005

Mengejar Koruptor Di Luar Negeri

Dari kantor kejaksaan Agung, tersiar kabar baru ini. Bahwa Kejagung akan membentuk sebuah komisi khusus yang bertugas untuk mengejar para koruptor yang kabur ke luar negeri. Hal ini diungkapkan Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh kepada wartawan di Pekan Baru Selasa kemarin.

Kabar baru? Memang, ini kabar baru. Tetapi ceritanya lama, bahkan usang. Atau kata anak muda sekarang: basi. Karena berbagai niat mengejar para koruptor di luar negeri sudah dari dulu diungkap berbagai pejabat. Kita juga sudah beberapa kali mendapat kabar adanya misi aparat pemerintah Indonesia yang dikirim ke luar negeri, misalnya ke Australia dan Singapura, untuk mengupayakan ekstradisi para koruptor kita yang bermukim di negara-negara itu. Tetapi sampai sekarang hasilnya tak pernah kelihatan.

Mungkin tidak pada tempatnya kita menyerang pemerintah terus-menerus mengenai belum berhasilnya langkah diplomatik untuk mengekstradisi para koruptor itu. Karena negeri-negeri itu bukannya sengaja melindungi buron pidana ekonomi besar itu. Tetapi negeri-negeri itu memiliki hukumnya sendiri-sendiri, yang melarang polisi untuk melakukan penangkapan begitu saja, apalagi melakukan ekstradisi terhadap negara yang tak memiliki perjanjian ekstradisi. Kita juga tak bisa begitu saja mengutuk negara-negara tempat pelarian para koruptor itu. Namun pernyataan bahwa kejaksaan agung akan membentuk komisi untuk memburu koruptor di luar negeri, terasa mengganggu, karena beberapa hal.

Pertama, hal ini membuat kejaksaan Agung seperti hanya bertugas membentuk komisi atau badan-badan khusus belaka. Sejak Abdul Rachman Saleh ditunjuk menjadi Jaksa Agung oleh presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, kita belum mendapat isyarat adanya langkah penegakan hukum yang berarti dari kantor kejaksaan Agung kecuali penbentukan badan-badan itu. Pertama, pembentukan Komisi Kejaksaan yang katanya bertugas untuk memantau dan mengevaluasi kinerja para jaksa Agung. Sesudah itu pembentukan semacam lembaga penasihat, yang tugasnya memberikan berbagai pertimbangan, dan sudah pasti nasihat, terhadap jaksa Agung. Kemudian, Komisi Perburuan Koruptor di luar negeri ini.

Kedua, hal ini membuat Jaksa Agung kelihatan seperti tak punya prioritas. Apakah perburuan koruptor di luar negeri itu benar-benar mesti jadi prioritas kerja Kejaksaan Agung sekarang ini? Kita perlu mengingatkan, bahwa yang ditunggu dari kejaksaan Agung adalah gebrakan dalam menindak para koruptor mulai dari kelas teri sampai kelas kakap, dari kelas kecoa sampai kelas kuda nil, yang sekarang ini bukan saja bebas berkeliaran, namun terus menduduki berbagai jabatan penting, dan terus melakukan kegiatan korupsi mereka. Para koruptor di luar negeri, memang jangan dilupakan. Tetapi mereka setidaknya sudah divonis bersalah, dan prosesnya lebih rumit karena berkaitan dengan pemerintah dan hukum negara lain. Yang lebih penting adalah menindak para koruptor yang masih terjangkau secara cepat oleh hukum dan aparat kita sendiri. Harusnya ini lebih gampang, dan akan membuktikan kepada kita, rakyat Indonesia, bahwa Kejaksaan Agung bukan saja punya tekad, namun punya langkah nyata dalam menagani korupsi. Jangan sampai orang menduga, bahwa pembentukan komisi-komisi itu sekadar merupakan upaya jaksa agung untuk mengalihkan perhatian publik dari apa yang seharusnya ia kerjakan.

Adapun tentang hal yang berkaitan dengan para koruptor buron itu, Kejaksaan Agung bisa melakukan hal yang nyata dan bisa berhasil cepat. Yakni penindakan besar-besaran terhadap para aparat yang berperan, besar atau kecil, sengaja karena bersekongkol atau lalai belaka, dalam meloloskan para koruptor itu ke luar negeri. Ini langkah yang bisa memberikan efek jera dan gertak kepada aparat yang selama ini diketahui memang gampang dibeli oleh para pelanggar hukum.

Sangat disesalkan, bahwa Kejaksaan Agung yang awalnya begitu diharap banyak orang, karena dipimpin oleh Abdul Rachman Saleh, orang yang dikenal memiliki integritas kuat, ternyata belum memperlihatkan pekerjaan nyata hingga bulan ke-empat pemerintahan SBY. Di luar pembentukan komisi-komisi dan sejenisnya itu, Jaksa Agung lebih sibuk dengan berbagai pernyataan, namun miskin dengan tindakan kongkret. Kalaulah ada ratusan kasus korupsi yang sudah diproses, itu lebih merupakan tindakan kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi di berbagai daerah. Bukan merupakan karya kejaksaan Agung.

Jadi, jaksa Agung Abdul Rachman Saleh masih berhutang banyak kepada kita. Dan ia harus menjawabnya bukan dengan membentuk badan-badan atau komisi-komisi. ***