Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Tuesday, January 25, 2005

Yang Terlupakan dari Utang

Gabungkanlah penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja. Jumlah mereka sama dengan jumlah orang miskin di indonesia.perkiraannya menurut bank dunia lebih dari seratus sepuluh juta jiwa. Itu kalau hitungannya mereka orang Indonesia yang berpenghasilan di bawah dua dollar Amerika Serikat atau sekitar 18 ribuan rupiah per hari. Sudahlah kita genapkan saja, 20 ribu per hari, dan yakinlah jumlah orang miskin di Indonesia,lebih dari seratus sepuluh juta. Lebih dari lima puluh persen penduduk Indonesia. dan silahkan jumlah lagi, dengan jutaan jiwa yang tergusur baik rumah maupun penghidupan mereka, tempat belajar mereka, akibat konflik dan akibat bencana alam.

Kita orang-orang miskin. Kita adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk bangkit dari kemelaratan selama puluhan tahun. Persentase kemiskinan di Indonesia, nyatanya tidak pernah bisa ditekan dibawah angka dua puluh atau sepuluh persen, kecuali pemerintah atau bank dunia atau lembaga-lembaga yang menetapkan standar tentang kemiskinan mau menurunkan bahwa ukuran miskin atau tidak miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah lima ribu rupiah misalnya.

Tapi itu akan jadi akal-akalan matematika belaka. Bahkan dengan duapuluh rupiah per hari bagaimana sih orang bisa hidup? Bayangkan anda adalah keluarga dengan dua anak saja. Berapa yang harus dikeluarkan untuk transportasi pergi kerja, pergi sekolah,sarapan pagi lima perut. Makan siang dengan sedikit gizi, dan pulang dari tempat bekerja atau sekolah di sore hari. Meski judi dilarang, kami berani taruhan anda harus turun di tengah jalan karena ditendang kondektur. Uang dua puluh ribu rupiah per hari menjadi bukan apa-apa.

Tapi kadangkala kemiskinan di keseharian dan kemiskinan di atas kertas laporan negara-negara donor, memang menjadi perdebatan. Kita memang menyaksikan dan merasakan bahwa kita masih bisa survive. Kita semua lebih dari 220 juta jiwa,yang hampir enam puluh persennya hanya punya 20 ribu rupiah sehari, masih bisa makan, bersekolah, perlente di hari lebaran, dan pesiar mungkin setahun sekali dua kali.

Darimana uang-uang itu didapat? Persis seperti yang dilakukan oleh pemerintah. Tutup lubang dengan menggali lubang baru. Cari modal dengan mencari utangan. Kalau saja kita belajar bahwa sesungguhnya kekayaan itu berhimpun dimana-mana termasuk berada di balik wajah-wajah kemiskinan, sesungguhnya semua bangsa bisa menaikkan derajat hidup mereka, baik dari ukuran politik, sosial maupun ekonomi sampai yang paling mikro.

Pemerintah kita baru saja berhutang lagi. Setelah utang disetujui, barulah kantor Meneg PPN menyiapkan strategi-strategi dalam pengelolaan utang luar negeri. Ada empat dalam dokumen bappenas, yang pertama adalah pencapaian batas aman utang luar negeri, lalu penetapan prioritas penggunaan utang luar negeri, berikutnya pembentukan lembaga pengelolaan utang dan yang terakhir pembentukan perangkat peraturan bagi landasan kebijakan pengelolaan utang luar negeri. Kemana saja mereka selama ini?

Karena strategi-strategi tersebut sungguh LLT alias lelet. Mestinya ini berlangsung sejak jauh dahulu, bahkan sebelum niatan berhutang keluar dari bibir negosiator-negosiator Indonesia yang mengaku ulung. Tapi sesungguhnya tidak bergigi di depan para pendonor itu. Atau kalau tidak LLT alias Lelet, spekulasi kedua yang berlaku. Bahwa uang utang betul seperti yang disebutkan oleh banyak kalangan, hanya dihambur-hamburkan untuk proyek-proyek yang tidak efisien. Betul, bahwa utang luar negeri penggunaannya sama borosnya dengan gaya remaja yang tengah dihasut oleh konsumerisme masa pemerintah kita remaja.

Bappenas mengharapkan agar pemerintah memiliki landasan kebijakan pengelolaan utang luar negeri, perlu adanya peraturan perundang-undangan, yang merumuskan aturan secara komprehensif tentang pengelolaan utang. Peraturan itu mencakup aspek strategis pengadaan dan pengendalian utang, kriteria pemanfaatan, tata kelembagaan, dan mekanisme pengelolaan. Pantas saja, orang miskin di Indonesia masih berbaris sama besarnya dengan penduduk Malaysia, Vietnam dan Kamboja.

Orang bilang, orang ahli maksudnya, termasuk pemerintah yang mengaku ahli itu,kemiskinan bisa dihapuskan dengan menguatkan pendidikan, dengan menekan angka pengangguran. Tapi pendidikan Indonesia mengulangi sindiran lama bahwa ganti menteri adalah ganti kebijakan, dan angka pengangguran Indonesia hanya permainan matematika. Target pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran terbuka dari 9,9 juta orang pada tahun ini menjadi 5,7 juta orang pada empat tahun mendatang, diperkirakan sulit diwujudkan. Ini juga analisa dari Bappenas. Tapi kita hanya bicara tentang pengangguran terbuka yang sejak lima tahun lalu, kriterianya telah berubah.

Jadi sudahlah bisa jadi angka pengangguran kita yang sesungguhnya, yakni mereka yang tidak memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang sungguh-sungguh dapat menghidupi keluarga selama sebulan dan jaminan pada hari depan jumlahnya sama dengan penduduk Malaysia, Vietnam dan Kamboja. Ya, mungkin dikurang-kurangi sedikit dari itu. Jadi bayangkan betapa besarnya pekerjaan maharaksasa yang harus dituntaskan. Lalu pendidikan yang pada masa lampau diejek ganti menteri ganti sistem ganti kurikulum diulangi lagi oleh Mendiknas Bambang Sudibyo yang akan memberlakukan kembali ujian akhir nasional. Sebuah kebijakan yang tidak menyentuh substansi masalah. Sama halnya dengan cara menekan pengangguran dengan cara mengelola utang luar negeri atau sebetulnya sama parahnya dengan cara bagaimana pemerintah harus melakukan rapat kerja dengan parlemen, jangan jangan sama kacaunya dengan catatan notulensi sidang sidang kabinet. Dan orang-orang miskin di Indonesia yang berbaris dari Malaysia, ke Vietnam ke Kamboja, dan jumlahnya bisa lebih dari itu kalau saja Bank Dunia mau memasuki pelosok-pelosok Indonesia yang masih banyak belum tersentuh listrik dan angkutan transportasi terhitung hanya seminggu sekali, jumlah orang miskin kita mungkin akan mereka tarik sampai ke Fiji.

Pemerintahan ini baru empat hari mendatang berusia 100 hari. Tapi bukan angka 100 hari yang dipersoalkan. Usia kita sebagai sebuah bangsa sebuah negara, sebagai sebuah komunitas ke-nusantara-an sudah cukup lama. Dan kita masih belum mampu mengelola kemiskinan kita. Mengubahnya menjadi seperti lirik-lirik lagu yang membanggakan tentang ke-indonesia-an. Apa nggak malu gitu loh...? (*)