Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Monday, January 17, 2005

Aceh Butuh "Orang Kuat"

Menginjak hari ke-23, kita tak juga melihat munculnya satu kepemimpinan yang kuat dalam penanganan pasca bencana tsunami di Nangroe Aceh Darussalam. Kepemimpinan yang kuat di lapangan, yang sanggup memobilisasi sekaligus mengatur bantuan dari segala penjuru dengan efektif, cerdas, dan tepat sasaran. Kepemimpinan a la Walikota New York Rudolph Giuliani ketika menangani keadaan darurat pasca hancurnya menara kembar WTC akibat dihajar teroris asuhan Osama bin Laden. Jujur harus kita akui, kita tak memiliki orang-orang lapangan sekualitas Rudy, walikota itu, yang turun langsung ke puing-puing reruntuhan dan memimpin seluruh aparat dan relawan dengan sangat sigap dan cekatan.

Secara nasional kita memiliki Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. Untuk kasus tsunami di NAD dan Sumatera Utara, badan ini langsung dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sedangkan ketua hariannya dikendalikan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Alwi Shihab. Tapi tiga minggu lebih sesudah bencana itu terjadi, distribusi dan koordinasi bantuan tak kunjung membaik.

Yang disebut koordinasi dalam prakteknya hanyalah penerapan birokrasi yang justru menghambat dan membatasi gerak para relawan. Menggali sumur pompa untuk menyediakan air bersih pun, harus melapor dulu ke posko petugas. Betapa buang waktu. Kenapa para petugas itu tak menjemput bola saja, mendata langsung, dan bukannya menyuruh para relawan itu berhenti bekerja hanya untuk mengurus ini-itu di tempat lain? Bahkan dalam keadaan yang sangat darurat pun, mereka masih juga mengembangkan prasangka tak perlu terhadap kehadiran relawan asing, baik sipil maupun militer, yang jelas-jelas banyak membantu menembus wilayah-wilayah yang masih terisolasi.

Kita tak punya pemimpin sekaliber Rudi, walikota New York itu, yang dengan tangan dan kata-katanya, sanggup menyatukan seluruh isi kota untuk hanya fokus bekerja demi menyelamatkan yang masih hidup dan mengevakuasi dengan cepat mereka yang sudah meninggal dunia. Tak ada birokrasi yang tak perlu. Semua orang yang mau membantu dilibatkan, diarahkan, dipimpin untuk bekerja bersama.

Pemimpin macam itu yang kita tidak punya. Pemimpin yang kita miliki adalah mereka yang terbiasa duduk di meja, mempersulit segala sesuatu yang sebetulnya mudah, dan karena itu sangat gagap ketika harus memegang tongkat komando di lapangan. Yang terjadi kemudian adalah sikap defensif, memberi laporan yang baik-baik, dan masih sempat-sempatnya bicara tentang harga diri bangsa ketika melihat relawan asing begitu cekatan bekerja tanpa banyak bicara. Dengan dalih nasionalisme yang entah apa definisinya, mereka lantas mematok 26 Maret sebagai batas akhir bekerjanya relawan asing, khususnya militer asing. Padahal mereka datang tanpa senjata, padahal mereka punya alat-alat yang kita tidak punya, padahal kehadiran mereka jelas-jelas dibutuhkan para korban.

Kegundahan itulah yang mungkin melingkupi benak Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang beberapa kali meninjau langsung ke wilayah bencana. Kemarin ia mengumpulkan para pembantunya secara mendadak. Dan presiden bilang, organisasi penanggulangan bencana yang dipimpin Wapres Yusuf Kalla dan Menko Kesra Alwi Shihab, perlu disempurnakan. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih rinci tentang maksud kata-kata "perlu disempurnakan" ini.

Perhatikan keterangan Menteri Alwi Shihab kemarin. Ia bilang, tahap tanggap darurat di lokasi bencana saat ini sudah terlewati. Tak ada ancaman kelaparan, tak ada wabah penyakit. Bahkan ada beberapa tim medis asing yang minta izin pulang ke negaranya karena sudah merasa tidak terlalu dibutuhkan.

Ampun. Tidakkah Alwi melihat bahkan sampai hari ini pun mayat-mayat masih bergeletakan dan belum terurus dengan baik di banyak tempat, termasuk di Banda Aceh? Hujan yang terus mengguyur, distribusi makanan yang tak merata, jalur transportasi yang belum sembuh betul, sampah dan puing yang berserakan, semua sangat berpotensi menimbulkan bencana susulan. Dan Alwi Shihab seolah bersyukur atas rencana kepulangan beberapa tim medis asing yang saat ini justru sangat dibutuhkan para pengungsi.

Kita memang tak punya seorang Rudolph Giuliani, sang Walikota New York. Dan kita tak akan pernah punya orang seperti itu, kalau cara berpikir kita masih sempit, cara bertindak kita masih tidak efektif, dan cara bertutur kita masih penuh syak-wasangka.