Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Wednesday, January 19, 2005

Bencana Pasca Tsunami

Awas, bencana susulan tak cuma terjadi di kawasan Nangroe Aceh Darussalam. Tapi ancaman bencana juga sedang membayang-bayangi langit dan bumi Jakarta. Pemerintah provinsi Jakarta kemarin melansir pengumuman adanya bahaya itu. Badan Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) Bencana dan Penanganan Pengungsi DKI Jakarta sudah meminta warga yang tinggal di kawasan rawan banjir agar bersiap-siap mengungsi dan menempati tempat-tempat penampungan.

Apa artinya ini? Jelas, pengalaman bertahun-tahun kebanjiran tampaknya tak juga membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sadar untuk membuat sistem perencanaan pembangunan yang bisa meminimalisasi banjir. Bayangkan, di antara 267 kelurahan yang ada di Jakarta, 186 di antaranya masuk kategori rawan banjir. Ini berarti 70% kelurahan di DKI Jakarta terancam tenggelam. Hujan deras yang terjadi kemarin saja sudah mengakibatkan permukaan air sungai di delapan pintu air naik melampaui batas normal. Memang terdengar antisipatif, bahwa pemprov DKI sudah menyiapkan 300 tempat penampungan untuk para calon pengungsi. Tapi bahkan yang disebut tempat penampungan ini pun hanya berupa lapangan terbuka, gelanggang olahraga dan gedung-gedung sekolah.

***

Pembangunan tanpa perencanaan rasional, itulah yang terjadi di metropolitan Jakarta ini. Padahal sejak lama para pakar tata kota dan lingkungan sudah mengingatkan, banjir di Jakarta harus ditangani komprehensif. Lengkap dari hulu ke hilir. Jakarta tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Ada Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang. Semua saling berkaitan. Tapi masalahnya semua seolah berjalan sendiri-sendiri. Tak ada koordinasi. Semua berlomba dalam keburukan: membuka lahan baru dan menggantinya dengan hutan beton. Entah untuk pusat pertokoan atau kawasan perumahan.

Ruang hijau dan kawasan resapan air semakin menyusut jumlahnya. Jalan-jalan diaspal tiap tahun, anggaran terus menggelembung. Tapi lihatlah, mereka membangun jalan tapi tak pernah berpikir untuk membangun saluran air di sisi kiri dan kanannya. Akibatnya, hujan menggerus aspal-aspal itu, menggenanginya dengan air becek. Anggaran baru diusulkan lagi. Begitu seterusnya.

***

Hujan adalah berkah bagi bumi, kalau kita bisa mengelolanya. Tapi karena penguasa kota-kota di Indonesia kebanyakan berwatak saudagar, akibatnya hujan acap menjadi bencana. Saudagar hanya tahu cara mencari untung. Dan inilah yang melandasi banyak penguasa, termasuk di Jakarta dan wilayah sekitarnya. Yang kemudian mereka bangun adalah pusat-pusat konsumsi, pusat-pusat belanja. Pusat kebudayaan? Ruang hijau? Aha, itu tak memberi untung, bung.

Kita punya banyak pakar perencana tata kota. Kita memiliki sejumlah cerdik-cendekia di bidang lingkungan. Tapi penguasa kota enggan melibatkan mereka. Karena ya itu tadi, pemikiran mereka tak membawa untung bagi kantong-kantong pejabat yang hanya mampu berpikir dalam jangka pendek. Berpikir tentang proyek demi proyek, agar kelak ketika tak menjabat lagi, mereka sudah memiliki tabungan pribadi untuk membangun masa depan mereka sendiri.

Dan kita lah, seluruh warga kota, yang lantas menanggung akibatnya. Ratusan rumah di wilayah Bekasi sudah terendam air kemarin. Sedangkan 70% kelurahan di wilayah DKI Jakarta sedang menunggu giliran. Ratusan ribu bahkan jutaan warga potensial jadi pengungsi dalam beberapa waktu ke depan. Kita dan jutaan warga kota ini adalah korban dari penguasa yang tak paham cara mengelola kota.