Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Friday, January 14, 2005

Momentum Rekonsiliasi

Waktu itu, sekitar 25 relawan dari Muhammadiyah itu tengah bersiap untuk kembali ke pangkalan mereka, usai membagi-bagikan makanan kepada pengungsi di desa Kreung Raya, dekat pelabuhan Malhayati, banda Aceh. Tiba-tiba muncul segerombolan orang di tempat yang tinggi, dan menembakan peluru ke arah mereka. Gerombolan penembak cepat menghilang. Kepanikan pun melanda. Untunglah, tak ada yang terluka. Tak ada tembakan yang mengenai para relawan atau sejumlah pasukan Brigade Mobil (Brimob), yang mengawal para relawan itu.

Inilah insiden penembakan pertama yang menyasar para relawan, sejak gelombang relawan, termasuk tentara dan pasukan keamanan sipil asing dari seluruh dunia memasuki Aceh, dalam suatu operasi kemanusiaan raksasa. Salah satu yang terbesar dalam sejarah. Sebelum insiden penembakan itu, memang dilaporkan terjadinya sejumlah insiden. Seperti pencegatan terhadap sejumlah tim relawan oleh orang-orang tak dikenal. Lalu penyekapan terhadap pegawai lokal. Bahkan ada pemukulan terhadap relawan. Dan beberapa insiden lain.

Tetapi, seluruh keajdian itu dipandang sebagai riak-riak kecil saja. Karena situasi umum di Aceh menggambarkan konsentrasi tinggi dari berbagai pihak, untuk hanya bekerja untuk urusan kemanusiaan. Mengangkut puluhan ribu mayat yang bergelimpangan dan membusuk, lalu menguburkannya secara layak. Memindahkan para korban selamat ke tempat-tempat pengungsian. Membangun fasilitas-fasilitas umum seperti sanitasi dan rumah-rumah sementara. Membagikan makanan, minuman dan obat-obatan. Pokoknya, berbagai pihak bahu membahu dalam kegiatan penyelamatan dan bantuan darurat.

Bencana tsunami itu memang begitu hebat: menewaskan lebih dari 100 ribu jiwa di Aceh dan Sumatra, menghancurkan ratusan ribu rumah dan menyengsarakan jutaan orang. Kehancuran, kehilangan, dan penderitaan yang begitu dahsyat tak terperi itu telah menyatukan semua umat manusia, di seluruh dunia, di seluruh Indonesia, tentu di seluruh Aceh, dengan mengenyahkan segala perbedaan, dan mengubur permusuhan.

Masyarakat internasional dari berbagai agama tanpa kecuali: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, juga Yahudi, bahkan kalangan tak bertuhan sekalipun, terpanggil untuk mengulurkan tangan, memberikan berbagai bantuan. Mulai dana, makanan, obat-obatan, pakaian, peralatan, serta tenaga relawan ahli. Di kalangan kita sendiri, serta di kalangan masyarakat Aceh, permusuhan dan perbedaan politik seperti turut musnah disapu gelombang. Tak ada lagi urusan pro Indonesia atau pro Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena semuanya telah disatukan dalam penderitaan. Tak ada lagi permusuhan. Karena semuanya sama kehilangan, semuanya sama menderita. Bukan oleh apa yang mereka anggap musuh selama ini. Melainkan oleh musuh baru yang mendadak muncul: gelombang tsunami 26 Desember.

Kenyataan baru ini membuktikan pada kita, bahwa perdamaian di Aceh, sebagaimana perdamaian di sleuruh dunia, adalah mungkin, dann tidak musykil. Permusuhan dan ketegangan sebetulnya bisa diatasi. Orang-orang bisa bekerja sama, dan hidup berdampingan, bahkan bahu membahu secara normal. Perbedaan politik, juga di kalangan masyarakat Indonesia di luar Aceh, sebetulnya bisa tidak penting, bisa disingkirkan. Pendek kata, kita sebetulnya bisa hidup normal sebagaimana layaknya umat manusia: tanpa permusuhan, tanpa kebencian, tanpa dendam.

Maka momentum persatuan dalam kemanusiaan ini harus dipegang oleh kita semua, dan sama sekali tidak boleh kita lepaskan. Inilah momentum rekonsiliasi bagi rakyat Aceh yang selama ini terpecah belah antara yang pro GAM dan pro RI. Inilah momentum terbaik bagi kita untuk menyingkirkan senjata, dan membiasakan lagi penyelesaian perbedaan melalui jalon dialog. Baik GAM maupun TNI, pemerintah, dan pimpinan GAM harus memenuhi panggilan perdamaian ini. Mereka harus menggunakan momentum ini untuk menyiapkan lagi pembicaraan perdamaian yang menyeluruh dan penyelesaian konflik Aceh yang berkepanjangan itu.

Kita tahu, bahwa akan selalu ada sejumlah kecil orang yang melihat perdamaian sebagai ancaman, yang ingin terus memelihara ketegangan dan merawat permusuhan. Sebagaimana orang-orang yang melepaskan tembakan terhadap para relawan di Kreung Raya kemarin. Tetapi kita tak boleh menjadikan aksi para pengecut itu sebagai alasan untuk tidak bekerja demi perdamaian menyeluruh.

Inilah momentum untuk rekonsiliasi sejati di Aceh. Kalau kita melepaskannya, kita telah nmengkhianati rakyat Aceh, dan mengkhianati penderitaan mereka. ***