Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Thursday, February 03, 2005

Trauma Lama Pers Kita

Tanpa banyak didahului debat publik di media massa, Presiden Susilo Bambang Yudoyono Senin lalu meneken sebuah keputusan penting menyangkut kabinet. Keputusan berbentuk Peraturan Pemerintah itu adalah mengubah status Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi menjadi sebuah departemen. Keputusan ini baru disampaikan kepada wartawan kemarin sore.

Departemen baru ini tetap bernama sama, yakni Departemen Komunikasi dan Informasi. Hal penting yang menandai perubahan status ini adalah berpindahnya Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi dari Departemen Perhubungan ke Departemen Komunikasi dan Informasi. Ini berarti kalau sebelumnya Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil hanya punya kewenangan sebatas policy atau kebijakan, mulai sekarang kewenangan itu meluas sejalan dengan penambahan sebuah direktorat jendral dari departemen lain.

Satu pertanyaan yang kemudian muncul adalah sebuah kekhawatiran lama. Jangan-jangan dengan perubahan status ini, Departemen Kominfo akan menjalankan peran seperti Departemen Penerangan a la rezim Soeharto. Sebuah departemen yang punya kekuasaan luar biasa karena sanggup membunuh media massa yang tak disukai rezim penguasa, tanpa lewat jalur pengadilan. Sebuah departemen yang memposisikan dirinya sebagai lembaga paling pintar, dengan kewenangan yang mereka sebut sebagai pembinaan. Padahal yang disebut membina itu tak lebih hanya berisi aturan yang menelikung kebebasan pers.

Untunglah, setidaknya lewat wawancara dengan radio 68H kemarin, Menteri Kominfo Sofyan Djalil memberikan jaminan, perubahan status lembaga barunya tak akan mengarah kepada fungsi Departemen Penerangan zaman Orde Baru. Sepanjang berurusan dengan media massa, Menteri Kominfo hanya berfungsi sebagai juru bicara pemerintah menyangkut berbagai kebijakan publik. Menurut Sofyan Djalil, Departemen Kominfo akan lebih fokus pada pengembangan teknis pos dan telekomunikasi termasuk telematika.

Kita sambut perubahan status ini dengan sebuah kelegaan. Pertama, jaminan tidak adanya pengekangan pers a la Departemen Penerangan. Kedua, dengan berpindahnya direktorat jendral pos dan telekomunikasi di bawah payung Departemen Kominfo, masalah yang berkaitan dengan dunia penyiaran misalnya, hanya berurusan dengan satu departemen. Lebih efektif dan efisien. Sebab selama ini, diakui atau tidak, ada semacam tarik-menarik masalah penyiaran di antara kementerian kominfo dengan Departemen Perhubungan. Dua lembaga ini sama-sama merasa memiliki kepentingan dengan masalah penyiaran dan distribusi frekuensi gelombang radio.

Birokrasi modern memang harus diarahkan untuk bersifat efisien dan lincah. Dan dikembalikan ke fungsi ilmiahnya, yakni semata-mata sebagai lembaga negara yang berfungsi melayani kepentingan publik. Titik. Semakin gemuk tubuh birokrasi, dia cenderung semakin lamban bergerak dan berbeaya tinggi. Sebaliknya, semakin ramping, birokrasi akan kian lincah, cepat, dan murah. Dalam sebuah negara yang terkenal watak korupnya seperti Indonesia, birokrasi yang ramping lah yang kita butuhkan.

Kita berharap, perubahan status dari kementerian negara menjadi sebuah departemen kominfo, kebebasan pers akan tetap bisa berkembang semakin profesional. Tanpa campur tangan negara yang terlalu dalam. Carut-marut distribusi frekuensi gelombang radio harus bisa ditata lebih baik dan perkembangan teknologi informasi, termasuk telematika, lebih bisa mendapatkan ruang gerak lebih lega, tidak terhambat birokrasi yang terlampau ruwet. Dan semuanya harus berbiaya murah. Harapan semacam inilah yang harus dipenuhi Departemen Kominfo. Kalau tidak, kita hanya akan jalan di tempat. Yang berubah hanya direktorat ini pindah ke direktorat itu, tanpa perubahan yang signifikan. Dan kita tahu, baik Menteri Sofyan Djalil apalagi Presiden Susilo Bambang Yudoyono, pasti tak ingin hal itu terjadi. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Itulah makna perubahan.