Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Wednesday, January 26, 2005

Menunggu Asa Dari Finlandia

Kendatipun perlahan, kehidupan normal mulai terasa di Nangroe Aceh Darussalam. Salah satu tandanya yang sangat berarti, adalah dilangsungkannya kembali kegiatan persekolahan, mulai hari ini. Memang sebagian kegiatan belajar mengajar akan terpaksa dilangsungkan secara darurat. Karena, hanya sekitar 130 sekolah yang sudah layak pakai, dan disiapkan pemerintah untuk digunakan mulai hari ini. Ini masih jauh, bahkan dibandingkan dengan sekolah yang rusak dihantam gempa dan gelombang Tsunami 26 Desember, yang mendekati angka 1500-an.

Untuk mengakali terbatasnya jumlah gedung sekolah yang layak pakai, Dinas Pendidikan setempat menetapkan dua giliran bersekolah untuk setiap gedung. Ini akan mengurangi jam pelajaran, tetapi memberi kesempatan pada lebih banyak orang untuk bersekolah. Pada siswa pun tidak harus melakukan kegiatan belajar mereka di gedung sekolah semula. Mereka bisa melakukannya di mana saja, dan tak harus berseragam.

Tanda kedua kembalinya kehidupan normal adalah mulai hidupnya pasar. Pasar dan toko sudah kembali buka, dengan barang yang didatangkan sebagian besar dari Medan, dan dengan harga yang cukup normal.

Di luar itu, yang paling disyukuri oleh semua kalangan, rakyat Aceh, seluruh rakyat Indonesia dan masyarakat dunia, adalah kembalinya momentum perundingan bagi penyeselesaian masalah Aceh. Hari ini, serombongan pejabat Indonesia bertolak ke Finlandia, untuk membuka lagi perundingan perdamaian dengan Gerakan Aceh merdeka, yang dihentikan sejak gagalnya KTT Penyelesaian Aceh di Tokyo, 2003. Para perunding Indonesia itu beranggotakan antara lain Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda, Menteri Kehakiman dan HAM Hamid Awaluddin, dan Menteri Negara Informasi dan Komunikasi, Sofyan Djalil. Bersama mereka, turut pula sejumlah perwira militer senior, seperti Mayjen Syafrudin Tippe. Mereka akan berunding dengan para pemimpin GAM di pengasingan, seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah dll.

Ke Finlandia, para perunding pemerintah kita mestinya berangkat dengan optimisme tinggi, bahwa awal dari suatu kesepakatan yang komprehensif bisa dicapai. Karena situasi Aceh pasca bencana Tsunami membuktikan bahwa berbagai elemen dan kalangan masyarakat bisa bersatu padu bekerja sama, bahu membahu dalam suatu kerja kemanusiaan raksasa, tanpa peduli haluan maupun paham politik masing-masing. Derita bersama sebagai korban Tsunami, dan solidaritas global terhadapnya, telah memberikan kesempatan emas yang amat langka bagi kita semua, khususnya pemerintah RI dan TNI dengan GAM dan tentaranya, untuk kembali ke meja perundingan. Membicarakan penyelesaian konflik Aceh yang seakan tak berkesudahan itu secara politik dengan sabar, dan tanpa saling mengancam. Dan sedari awal menyiapkan disingkirkannya penyelesaian lewat senjata dan kekerasan.

Kita tak bisa berharap bahwa perundingan itu akan langsung menghasilkan suatu penyelesaian final. Karena riwayat konflik ini begitu panjang, dan komponen pembentuknya begitu rumit, bahkan ruwet. Tapi yang penting, kita memperoleh awal dari sejumlah kesepakatan dasar. Salah satunya, tentu gencatan senjata selama operasi penaganan bencana ini. Sehingga, para anggota TNI tak perlu menyandang senjata dalam operasi kemanusiaan mereka bersama berbagai kalangan termasuk tentara-tentara internasional yang memang sama sekali tak bersenjata itu.

Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu, tentu diserukan untuk sensitif pada situas baru di Aceh yang dilanda bencana dahsyat yang menewaskan lebih dari 200 ribu jiwa ini. Pak Jenderal disarankan untuk mengehentikan upaya perburuan para anggota GAM, dan lebih baik mengarahkan prajurit-prajuritnya untuk lebih total lagi terlibat dalam operasi kemanusiaan yang skalanya begitu besar ini. Sehingga, rakyat memperoleh wajah lain dari tentara kita. Bukan wajah yang garang dan mengancam, melainkan wajah yang ramah, siap membantu dan penuh pertolongan, seperti juga tentara-tentara dari berbagai negara lain.

Semoga saja perundingan di Swedia berjalan konstruktif dan produktif. Sehingga ketika para juru runding kita pulang, rakyat Aceh memperoleh harapan baru bagi kehidupan mereka yang benar-benar normal. Agar beban mereka melewati masa sulit dan teramat berat sesudah diluluh lantakan Tsunami, bisa lebih ringan. ***