Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Wednesday, January 12, 2005

Syak Wasangka Bantuan Asing

Sebuah gejala aneh berkembang menyangkut situasi Aceh yang menderita hebat oleh bencana Tsunami 26 Desember. Yakni munculnya sikap anti asing dengan berbagai bentuknya. Ini berkaitan dengan kehadiran ribuan tentara dan relawan dari berbagai negara, dalam operasi kemanusiaan di Aceh.

Sikap anti asing itu muncul antara lain dari PArtai KEadilan Sejahtera (PKS), melalui presidennya, Tifatul Sembiring, dan salah satu tokoh seniornya yang juha bekas perwira militer, Suripto. Keduanya mencurigai bahwa tentara-tentara asing itu memiliki agenda terselubung di Aceh, terutama menyangkut penguasaan kekayaan alam Aceh. Ada pula yang mengatakan bahwa keadaan ini memungkinkan kekuatan internasional untuk menjalin kontak dan mendukung operasi Gerakan Aceh Merdeka.

Tetapi sebetulnya seluruh prasangka buruk itu tak perlu muncul. Karena faktanya, tentara dan realwan asing itu hadir sepenuhnya untuk operasi kemanusiaan dalam cara kerja yang transparan dan akuntabel. Salah satu yang harus dicatat, kendati berseragam tentara, mereka hadir tanpa senjata dan peralatan tempur sama sekali. Yang mereka bawa dan berikan, adalah peralatan-peralatan angkut untuk medan berat, seperti helikopter, kendaraan berat, dan berbagai peralatan yang digunakan untuk menyalurkan bantuan ke berbagai tempat tak terjangkau. Juga berbagai peralatan bantaun darurat. Seperti alat pembersih air, misalnya. Yang benar-beanr vital dalam kondisi Aceh sekarang, yang penuh lumpur, dan sumber-sumber airnya tercemar hebat.

Tentara-tentara asing dan satuan-satuan khusus lain -seperti hansip Prancis-juga sangat berperan dalam operasi Pencarian dan penyeleamatan atau Search and Rescue -SAR, penanganan kondisi darurat, pembangunan instalasi-instalasi darurat seperti sanitasi dll. Juga penanganan mayat-mayat dan para korban luka dan sakit, dan lain-lain.

Operasi kemanusiaan seperti itu memang merupakan salah satu keahlian tentara asing itu. Mereka sangat terlatih di bidang itu, dan sangat berpengalaman dengan berbagai operasi sejenis di berbagai lokasi bencana di seluruh dunia. Jadi sama sekali tak ada yang perlu dikuatirkan dari kehadiran tentara, apalagi relawan asing itu. Kita tidak usah termakan oleh berbagai kecurigaan itu. Lebih-lebih lagi, sebagian kecurigaan itu dasarnya hanyalah teori konspirasi dan prasangka-prasangka primordial belaka.

Kita sepatutnya bahkan berterima kasih kepada seluruh bantuan asing itu. Karena nyatanya kita tidak mampu menangani musibah spektakuler ini sendirian. Dari segi apapun, baik dana, peralatan, maupun keahlian, kita memang sangat membutuhkan tentara dan relawan asing itu dalam menghadapi situasi ndarurat kemaanusiaan nyang begitu hebat di Aceh dan Nias sekarang ini. Bukanlah merupakan hal yang pantas jika kita justru sibuk dengan prasangka, dan upaya mencari m otif-motif terselubung masyarakat internasional. Karena jika urusannya motif terselubung, maka kecurigaan yang sama juga bisa dilontarkan terhadap berbagai organisasi serta badan lokal yang melibatkan diri di Aceh. Nyatanya, berbagai partai, organisasi masa, dan politikus, sebagian di antaranya punya reputasi buruk sejak masa Soeharto, juga ambil bagian, bahkan dengan atribut partai dan organisasinya masing-masing. Mereka ini bahkan lebih gampang diidentifikasi maksud terselubung serta agenda politiknya.

Kehadiran tentara-tentara asing itu justru harusnya kita manfaatkan untuk melakukan semacam alih keahlian untuk tentara kita. Kita tahu, tentara Indonesia pun pun seharusnya mendapat pelatihan khusus dalam menangani bencana dengan segala urusannya. Masalahnya, tentara kita selama ini lebih banyak disibukan dengan berbagai urusan lain. Misalnya operasi tempur dan pemberantasan gerakan rakyat, misalnya. Sehingga keahlian mereka dalam operasi penyelamatan jadi terabaikan. Nah, kehadiran tentara asing dalam operasi kemanusiaan di Aceh sekarang ini, seharusnya kita manfaatkan untuk alih pengetahuan dan keahlian bagi tentara Indonesia. Agar di masa depan, TNI justru dikenal kepeloporannya dalam operasi kemanusiaan semacam itu: dalam penyelamatan dan pencarian, dalam pembangunan instalasi dan fasilitas-fasilitas vital darurat untuk rakyat korban bencana. Sehingga TNI memperoleh wajah lain, yang ramah dan penuh pertolongan. Sesuatu yang jauh dari citranya selama ini, yang lebih lekat dengan penggunaan kekerasan dan hak istimewa. Bahkan penghambat hak-hak masyarakat sipil.***