Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Monday, January 31, 2005

Tajuk 68H: Menghindari "Kata Mati" dalam Perundingan

Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, akhir pekan kemarin, mencapai kesepakatan gencatan senjata. Lewat perundingan di Helsinki, kedua belah pihak setuju untuk mengakhiri perang. Inilah barangkali satu-satunya kabar menggembirakan tentang Aceh, setelah digoncang gempa dan tsunami. Bencana yang menelan korban hampir 230 ribu jiwa itu, rupanya mendorong kedua pihak yang bertikai untuk mencari penyelesaian damai. Demi kebaikan masyarakat Aceh. Kita bersyukur jalan menuju perdamaian itu akhirnya terbuka.

Memang belum semua hal terpecahkan. Perundingan Helsinki yang dihadiri Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud serta Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, itu belum mencapai kata sepakat tentang solusi masa depan Aceh. Tetapi kesepakatan untuk menghentikan perang, menghentikan saling bunuh dan bernegosiasi, adalah langkah awal yang sangat penting. Atas prakarsa Crisis Management Initiative, lembaga independen pimpinan mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, forum ini akan segera dilanjutkan dengan membahas masalah yang fundamental.

Kita paham perbedaan itu. Gerakan Aceh Merdeka, GAM, bercita-cita untuk mendirikan negara sendiri, terpisah dari Indonesia. Disuburkan oleh perlakuan Jakarta yang meminggirkan masyarakat Aceh, GAM mendapat angin dan sulit dihentikan dalam hampir 30 tahun terakhir. Pemerintah Indonesia, sebagai negara berdaulat, tentu saja tidak mau melepaskan sebagian wilayahnya menjadi negara baru. Separatisme, apalagi yang ditopang dengan perlawanan senjata seperti GAM, sulit mendapat pembenaran di dunia internasional. Pejabat dan terutama tentara Indonesia, seringkali mengatakan NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah harga mati. Mereka tak ingin membuka pembicaraan dengan GAM yang jelas-jelas bermaksud ingin merdeka.

Tetapi, inilah syarat utama perundingan. Kita tak boleh menetapkan harga mati. GAM tak bisa hanya mengukuhi satu kata : merdeka, seperti yang sering disampaikan juru bicaranya di berbagai forum. Pejabat Indonesia mestinya juga tak mengulang-ulang lagi mantra : NKRI harga mati itu. Perundingan adalah seni mencari jalan keluar, dari rumitnya problem bersama. Cara ini betapapun melelahkan dan memakan waktu, masih jauh lebih baik dibanding perang dan saling bunuh. Kita sudah membuktikan, perang hampir 30 tahun tak bisa menyelesaikan masalah Aceh. Karenanya, perundingan ini pantas untuk dicoba dengan serius dan diberi waktu.

Memang akan selalu ada suara sumbang, yang tak sabar menghadapi perundingan. Bukan cuma dari tentara tetapi juga politisi sipil. Permadi, anggota parlemen dari PDI Perjuangan, misalnya, adalah salah satu politisi yang menentang perundingan Helsinki. Ia berpendapat tidak ada gunanya berunding dengan GAM yang jelas-jelas ingin merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Jalan pikiran semacam ini, mendapat dukungan dari sebagian faksi dalam tentara. Itu sebabnya, dalam situasi berunding setelah tsunami pun, tentara terus melancarkan operasi dan menewaskan 200 anggota GAM. Tindakan semacam itu jelas tidak sejalan dengan politik perundingan yang dilakukan Pemerintahan SBY. Kita berharap, tentara di Aceh betul-betul patuh pada hasil perundingan Helsinki, yakni untuk mengakhiri perang.

Setelah senjata diletakkan, para perunding di Helsinki perlu lebih kreatif dan terbuka untuk mencapai tujuan mereka. Kalau GAM benar benar ingin melihat masyarakat Aceh yang merdeka, mungkin mereka juga harus menimbang kembali makna merdeka yang bisa diterima delegasi Indonesia. Para pejabat dari Jakarta, mestinya juga senantiasa ingat, mukadimah konstitusi kita yang mendahulukan kemerdekaan buat segala bangsa. Kita tentu tak perlu alergi dengan kata merdeka, yang juga menjadi semangat konstitusi kita sendiri. Jangan-jangan, kata merdeka yang diusung GAM itu, bisa dimaknai pula sebagai kemerdekaan yang ingin kita capai juga. Merdeka dari rasa takut, merdeka dari kebodohan dan kemiskinan.

Otonomi khusus yang ditawarkan Jakarta, hendaknya jangan selalu dibebani kata mati : NKRI. Sebab dalam pengertian otonomi khusus, toh sudah terkandung pernyataan sebagai satu negara. Indonesia dan GAM mesti bisa saling memberi, kalau ingin mencapai penyelesaian Aceh yang sesungguhnya.