Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Thursday, January 06, 2005

Jangan Gengsi Minta Penghapusan Utang

Bicara utang sesungguhnya bukan topik menarik. Tidak enak sama sekali. Lebih-lebih bagi pihak yang disebut pengutang. Terlambat bayar utang jadi masalah, bayar tepat waktu pun bisa jadi problem – apalagi kalau harus mengorbankan kepentingan sendiri yang lebih mendesak.

Hanya soal utang, tapi lihatlah saat ini Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Hari ini sebuah konferensi khusus tingkat tinggi negara-negara ASEAN plus negara-negara pengutang digelar di Jakarta. Sekjen PBB Kofi Annan pun merasa perlu datang langsung ke konferensi sini. Disebut konferensi khusus karena diadakan dalam situasi yang mendesak, setelah sebagian negara-negara ASEAN ini dihajar badai tsunami. Kerusakan akibat badai tsunami yang berjumlah miliaran dolar AS sudah menghadang di depan mata. Dari mana dan bagaimana mengatasi keadaan itu, soal inilah yang membayang-bayangi dan harus dibicarakan dalam forum ini.

Bantuan internasional memang mengalir spontan ke negara-negara korban tsunami, termasuk Indonesia. Tapi bantuan spontan ini terbatas, baik dari sisi jumlah maupun jangka waktunya. Indonesia yang menduduki peringkat atas dari sisi korban jiwa yang diperkirakan mencapai lebih dari seratus ribu orang, harus bertindak lebih terencana dalam beberapa bulan dan beberapa tahun mendatang. Dan semua itu butuh duit yang tidak sedikit. Angka kasar rekonstruksi dan rehabilitasi kawasan Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara yang jadi korban gempa diperkirakan mencapai sekitar sepuluh triliun rupiah. Padahal selain mengatasi bencana,, masih banyak soal lain yang harus diselesaikan Jakarta secara nasional.

Dari mana duit sebesar itu didapat? Tentu harus dari kocek negara. Tapi benarkah kocek negara sekarang ini ada isinya, itulah pertanyaan besar. Karena sesungguhnya isi kantong negara tercinta ini sebagian berasal dari utang turun-temurun yang harus dibayar pokok dan bunganya setiap tahun. Jumlah utang pokok dan bunga yang harus dibayar ini bahkan tak jarang seperti balapan mobil atau motor. Saling berkejaran.

Itu sebab konferensi khusus para pemimpin ASEAN yang juga dihadiri para pemimpin negara-negara kaya seperti AS, beberapa Eropa, Australia dan Jepang menjadi sangat penting. Konferensi khusus ini harus bisa dimanfaatkan pemerintah Indonesia seoptimal mungkin menggalang dukungan internasional, termasuk di dalamnya bicara soal utang luar negeri yang masih menggunung jumlahnya.

Isu soal utang ini pertama kali muncul dari pemerintah Jerman yang bereaksi cepat mengajukan gagasan moratorium bagi negara-negara pengutang yang tertimpa bencana tsunami. Gagasan moratorium atau penangguhan pembayaran utang ini lantas bergayung-sambut dari negara-negara pemberi utang lainnya seperti Kanada, Prancis, AS, Italia dan lain-lain. Meski belum begitu jelas bagaimana skema moratorium itu akan dijalankan, satu catatan harus diberikan: ini adalah gagasan simpatik yang harus dihargai.

Sayangnya pemerintah Indonesia sendiri tampak malu-malu. Bahkan terkesan sok gengsi. Padahal jelas-jelas kita lagi kesulitan uang. Utang luar negeri kita pada 2003, baik swasta maupun pemerintah, mencapai lebih dari Rp 200 triliun. Pada tahun 2005 ini, pemerintah sudah menganggarkan hampir Rp 72 triliun untuk membayar utang. Jumlah ini terdiri dari pembayaran cicilan pokok sebesar hampir Rp 47 triliun dan bunga sebesar Rp 25 triliun. Sungguh mencekik leher! Apalagi di tengah kondisi darurat akibat serangan tsunami.

Dalam hitungan anggota Komisi XI DPR RI Drajat Wibowo, jumlah cicilan utang kita tahun ini berarti 2,8 kali pengeluaran untuk sektor pendidikan, 10,6 kali pengeluaran untuk sektor kesehatan. Bahkan hampir 120 kali pengeluaran untuk sektor ketenagakerjaan. Bayangkan!

Melihat kondisi objektif seperti ini, sungguh tak beralasan kalau pemerintah masih sok tahan gengsi. Indonesia memang negara miskin, meski katanya kekayaan alamnya melimpah ruah. Perekonomian Indonesia memang amburadul karena sejak puluhan tahun lampau dikangkangi pemimpin dan birokrasi yang tingkat korupsinya sudah begitu menjijikkan! Mau bilang apa lagi, kita memang miskin kok!

Kita jelas butuh keringanan pembayaran utang itu. Bahkan kalau perlu mengajukan penghapusan utang, entah berupa pengalihan program pembangunan atau apa pun bentuknya. Yang penting kompensasi itu harus diarahkan untuk kemaslahatan publik dengan akuntabilitas yang tinggi. Bisa dipertanggungjawabkan. Tak perlu gengsi-gengsian! Karena sejak kita dihantam berbagai krisis, gengsi itu sudah selayaknya dibuang ke laut.