Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Monday, January 24, 2005

Mengapa Alwi Shihab Tak Diganti?

Belum sebulan Alwi Shihab memimpin pemulihan Aceh, setidaknya telah tiga kali ia membuat pernyataan gegabah. Pertama tentang kehadiran pasukan asing di sana, yang dikatakannya mengganggu harga diri bangsa. Hal ini berujung pada pemberian tenggat, agar tentara Indonesia mengambil alih kerjaan tentara asing, paling lama 26 Maret mendatang. Tenggat itu kemudian direvisi. Tetapi, menghubungkan kehadiran tentara asing yang ingin membantu korban tsunami dengan terkoyaknya harga diri bangsa, tetaplah sikap konyol yang tidak patut.

Kedua, tentang jumlah dokter di Aceh yang dikatakannya melebihi kebutuhan. Ini juga terkait dengan sikap Alwi yang lebih suka kalau dokter dokter asing cepat dipulangkan saja. Kesimpulan ini jelas menyesatkan. Kalaupun banyak dokter di Pendopo Banda Aceh, tempat Alwi berkantor sehari-hari, tidak berarti Aceh telah kelebihan dokter. Korban di berbagai kecamatan, bahkan juga di Banda Aceh, Aceh Besar dan terutama Aceh Jaya, membutuhkan pertolongan dokter dan tenaga medis lainnya. Alwi tampaknya tidak trampil mengelola dokter-dokter ini, untuk dikerahkan ke tempat yang membutuhkan.

Ketiga, yang terbaru, Alwi menjamin tidak akan ada korupsi dalam program relokasi dan rekonstruksi Aceh. Untuk memperkuat janjinya itu, Alwi Shihab mengemukakan dua cara. Yakni supaya negara donor memberi konsultasi agar pembangunan rekonstruksi itu dilakukan dengan cara yang sudah disepakati bersama. Kemudian, ia juga mempersilakan professional asing ikut meghitung kebutuhan untuk proses relokasi dan rekonstruksi tersebut. Jaminan Alwi ini hanyalah teori yang tak beranjak dari kenyataan lapangan. Berbagai program pembangunan di Indonesia pada masa normal, dengan monitoring konsultan asing, tetaplah rawan korupsi. Di masa lalu, kita tahu sekurangnya 30% dana pembangunan, bocor tak sampai tujuan.

Yang tak banyak diakui orang adalah, korupsi di masa darurat biasanya lebih besar dibanding masa normal. Sebab dalam masa darurat, termasuk akibat bencana alam, kontrol publik cenderung melemah. Orang-orang lebih toleran terhadap penyimpangan, karena berpatokan "yang penting pekerjaan selesai". Kontrol berjalan sangat minimal. Transparansi sulit diterapkan dalam masa darurat. Dan jangan dilupakan, masa darurat setelah bencana, bukan cuma memunculkan orang-orang yang spontan ingin membantu dan rela berkorban. Suasana ini, juga melahirkan orang-orang yang gesit mencari keuntungan untuk diri sendiri. Rebutan proyek, menilep bantuan, adalah perkara sehari-hari di masa darurat, termasuk di Aceh.

Relokasi pengungsi, pembangunan kembali infrasturkur di Aceh yang melibatkan komitmen donor trilyunan rupiah, adalah ladang bisnis yang menggiurkan buat banyak orang. Tak dapat dibayangkan, proyek raksasa ini akan bebas korupsi, seperti janji Alwi Shihab. Korupsi justru akan lebih besar dari 30%, karena dalam kondisi darurat, kontrol publik lebih lemah adanya.

Salah satu contoh yang amat gamblang adalah relokasi pengungsi di Maluku. Ketika konflik pecah lima tahun lalu, ada sekitar 30 ribu keluarga pengungsi yang perlu dibantu pemukimannya. Pemerintah memperkirakan tiap keluarga perlu bantuan Rp 10 juta. Sehingga untuk mengurus pemukiman kembali para pengungsi itu dibutuhkan dana RP 300 milyar. Tetapi, kini setelah trilyunan dana unuk pengungsi Maluku digelontorkan berbagai pihak, jumlah pengungsi yang dibantu baru 16 ribu. Masih ada 14 ribu keluarga lagi yang belum tersentuh.

Aceh bukan kekecualian. Tanpa tekanan publik yang massif dan terus menerus, korupsi dalam proyek relokasi dan rekonstruksi ini akan melambung tinggi. Korupsi dalam masa darurat, lebih tinggi ketimbang keadaan normal. Maka itu, kita sulit percaya janji Alwi Shihab. Kita malah bertanya-tanya, kenapa dengan begitu banyak kesalahan, dan kinerjanya yang buruk, presiden tidak segera mengganti Alwi Shihab dalam mengemban tugas pemulihan Aceh ini.