Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Thursday, January 27, 2005

Tajuk 68H: Menggantungkan Harapan Di Helsinki

Prospek perdamaian baru bagi warga Nangroe Aceh Darussalam kembali terbuka. Sebuah tim perunding Indonesia yang terdiri dari tujuh pejabat kemarin bertolak ke Helsinki, Finlandia, untuk bertemu dengan para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di sana. Tim perunding Indonesia di antaranya adalah Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Sofjan Djalil, dan Menko Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS. Sedangkan dari pihak GAM antara lain Perdana Menteri GAM Malik Mahmud dan Menteri Luar Negeri GAM Abdullah Zaini.

Kita sambut prospek perundingan perdamaian ini dengan penuh harap. Sejak awal radio 68H berpendapat, tak ada jalan apa pun yang lebih baik bagi warga Aceh secara keseluruhan selain segera mengakhiri konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dengan GAM melalui meja perundingan. Jalan dialog jauh lebih bernilai, lebih beradab, bahkan jauh lebih murah baik secara finansial maupun sosial dan politik ketimbang jalan berdarah melalui operasi militer.

Sayangnya sebagian orang masih mempersoalkan hal-hal yang tidak prinsip. Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan beberapa orang dari Komisi I DPR misalnya, mempertanyakan masalah tempat perundingan kenapa harus di luar negeri. Alasan mereka, persoalan Aceh adalah masalah dalam negeri Indonesia, jadi tak perlu bikin perundingan di luar negeri. Apalagi pengalaman beberapa perundingan di luar negeri sebelumnya mengalami kegagalan. Mereka tampaknya lupa, jeda kemanusiaan untuk Aceh beberapa tahun lalu yang disponsori lembaga Henry Dunant Center pernah berakhir buruk. Bahkan beberapa perwakilan GAM yang sudah bersedia duduk di dalam tim jeda kemanusiaan akhirnya menjadi tawanan dan diadili, meski status mereka saat itu sah secara politik.

Jadi ketimbang cerewet mempersoalkan masalah tempat, lebih baik kalau kesediaan pemerintah untuk memulai lagi perundingan melalui jalan damai dengan GAM didukung penuh dari dalam negeri. Kepentingan utama rakyat Aceh yang sedang hancur akibat bencana tsunami harus diletakkan dalam posisi tertinggi ketimbangan pertimbangan apa pun, apalagi kepentingan politik yang dilandasi semangat nasionalisme sempit. Dialog menuju perdamaian adalah pintu masuk bagi upaya memperbaiki kerusakan skala besar yang kini sedang melanda Aceh. Jangan lupa, masalah GAM selalu menjadi alasan utama bagi pemerintah Indonesia untuk membatasi ruang gerak di Aceh. Kebijakan kontroversial yang membatasi kerja kemanusiaan para relawan asing pun didasari alasan seperti ini. Sebuah kebijakan konyol yang hanya menunjukkan betapa tidak sensitifnya para petinggi Jakarta menghadapi bencana kemanusiaan yang dahsyat ini.

Kita memang belum tahu apa target tim perunding dari Indonesia untuk bertemu dengan para pemimpin GAM di luar negeri. Kita hargai sikap tim yang masih belum mau membuka informasi tentang masalah ini. Membuka target perundingan sebelum pertemuan bisa berakibat buruk karena pihak GAM bisa saja salah tafsir dan akhirnya justru menaikkan tuntutan. Jadi tepat sudah apa kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, tak ada mutlak-mutlakan di sini. Namanya berunding, masing-masing pihak harus membuka diri terhadap semua kemungkinan penawaran. Satu memberi, yang lain menerima. Begitu pula sebaliknya. Bahkan yang namanya NKRI pun tak sepatutnya dipatok sebagai harga mati.

Sekali lagi kita berharap banyak, proses perundingan ini akan membuahkan hasil yang baik bagi semua pihak. Baik bagi pemerintah Indonesia, baik bagi GAM, lebih-lebih bagi rakyat Aceh. Warga Aceh sudah mengalami penderitaan yang sempurna: dihajar konflik puluhan tahun dan kini dihantam tsunami. Sudah saatnya pemerintah RI dan GAM sadar, tak ada guna menyalakkan senjata dalam kondisi hancur lebur seperti sekarang ini.

Selamat berunding.