Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Thursday, January 13, 2005

Pembatasan Relawan yang Tak Masuk Akal

Heran. Kita harus benar-benar merasa heran dengan cara pemerintah menangani kondisi darurat bencana tsunami di wilayah Nangroe Aceh Darussalam. Ketimbang mengoptimalkan tenaga bantuan yang terus mengalir ke sana, terutama bantuan internasional yang jelas-jelas dibutuhkan korban bencana, pemerintah Indonesia malah sibuk melakukan pembatasan. Status darurat sipil yang dituding sebagai biang keladi terlambatnya berita tentang Aceh muncul di dunia internasional, malah hendak dipaksakan berlaku kembali. Seolah-olah kondisi Aceh normal-normal saja. Seolah-olah kita tak butuh bantuan mereka sama sekali. Pemerintah tampaknya tak pernah belajar dari peristiwa dahsyat 19 hari lalu.

***

Selain mematok batas waktu hingga 26 Maret mendatang, pembatasan terhadap semua warga asing mulai diberlakukan. Menurut Kepala Staf Operasi Bakornas Penanggulangan Bencana Aceh Budi Atmadi Adiputro, semua warga negara asing, baik jurnalis, relawan, LSM, bahkan staf PBB, hanya bisa bergerak di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Meulaboh.

Di luar tiga kota ini, mereka harus lapor ke posko Departemen Luar Negeri di pendapa gubernur. Saat melapor, warga asing harus memberitahukan secara rinci tujuan dan maksud kunjungannya. Tapi tunggu dulu. Laporan yang masuk ke Penguasa Darurat Sipil Daerah itu itu akan diperlakukan hanya sebagai permohonan. Tidak serta-merta disetujui. Kalau pun disetujui, mereka boleh pergi ke daerah tujuan dengan syarat harus didampingi personel TNI/Polri. Alasannya, untuk melindungi mereka dari ancaman Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

***

Lihatlah, betapa tak masuk akalnya aturan ini. Betapa tidak sensitifnya pemerintah terhadap kebutuhan korban bencana yang butuh uluran tangan segera, terutama di wilayah-wilayah yang belum tersentuh bantuan secara maksimal. Menangani distribusi bantuan saja tidak becus, lha kok sekarang malah mau menerapkan aturan birokrasi konyol yang hanya akan memperlambat gerak para relawan dan wartawan. Dan jangan lupa, masyarakat internasional yang selama ini ikut menyumbang pasti ingin tahu perkembangan kondisi di Aceh. Mereka pasti ingin tahu, digunakan untuk apa sumbangan yang sudah mereka berikan. Dan informasi itu tak akan mereka dapatkan secara memadai kalau gerak wartawan dibatasi aturan konyol ini.

Sungguh kita tak bisa mengerti logika apa yang berada di balik keluarnya keputusan itu. Para wartawan yang mengikuti konferensi pers di pendopo gubernur NAD itu langsung mengacungkan protes. Mereka membandingkan, bahkan liputan di Irak yang lebih berbahaya pun, tak ada aturan seperti yang mereka hadapi sekarang ini di Aceh. Mereka menolak meliput kalau harus didampingi aparat keamanan. Toh sejauh ini, belum ada satu kasus pun yang menimpa warga asing yang berkaitan dengan GAM.

***

Kalau idenya hanya ingin mengoordinasi bantuan yang selama ini kacau balau, pemerintah justru harus bisa menyediakan peta informasi lengkap yang berguna bagi para relawan untuk memutuskan kemana akan bergerak. Tapi, terus terang kita ragu birokrasi sipil dan militer Indonesia mampu menyediakan peta informasi lengkap yang memang diperlukan ini.

Pendataan memang perlu dan harus. Tapi jangan lantas mempersulit dengan meja-meja birokrasi yang sudah terbukti hanya memperlambat pekerjaan. Apalagi menerapkan berbagai pembatasan yang tak perlu. Para wartawan dan relawan asing, termasuk militer asing, sudah berpengalaman dengan keadaan pasca bencana di negara-negara lain. Mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan. Justru kalau hendak bikin pendataan, sebaiknya pemerintah dan tentara Indonesia lah yang harus pro-aktif mendatangi mereka. Bukan sebaliknya, menyuruh mereka balik ke pendopo gubernur ketika harus bergerak di luar Banda Aceh.

Sekali lagi kita ingatkan, skala kerusakan akibat tsunami yang terjadi di wilayah Nangroe Aceh Darussalam sangat luar biasa. Kita jelas butuh relawan asing, baik sipil maupun militer. Juga kehadiran wartawan asing, agar Aceh tak lagi menjadi wilayah terisolasi. Sudah jelas pemerintah tak akan pernah mampu menangani bencana ini sendirian. Selain ketrampilan dan teknologi yang terbatas, potensi korupsi bantuan selalu terbuka. Kalau soal ini, kita memang sudah terbukti sangat berpengalaman.