Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Thursday, January 20, 2005

Terima Kasih Di Tengah Prasangka

Akhirnya, pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan ucapan terima kasihnya, atas bantuan komunitas internasional dalam operasi kemanusiaan pasca Tsunami 26 desember di Aceh dan Nias. Ucapan terima kasih itu disampaikan Wakil Tetap RI untuk PBB Rezlan Ishar Jenie di depan sidang Majelis Umum PBB di New York, Rabu kemarin Waktu Indonesia Barat, atau Selasa waktu New York.

Rezlan Ishar Jenie, atas nama pemerintah Indonesia mengatakan, bahwa setiap warga negara Indonesia akan selalu mengingat solidaritas dan bantuan masyarakat dunia bagi korban bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara. "Kemurahan hati global" yang diperlihatkan dunia, membuat bangsa Indonesia tidak merasa sendiri dalam menghadapi bencana dahsyat ini. Karena "Ada wujud dari kasih sayang, kepedulian, bantuan dalam skala besar dan respon internasional yang luar biasa melalui bantuan kemanusiaan."

Inilah ucapan terima kasih yang pertama kali diucapkan secara resmi oleh pemerintah Indonesia kepada dunia. Padahal masyarakat dunia secara spontan mengulurkan tangan mereka dengan berbagai bentuk, mulai bantuan material seperti makanan, pakaian dan obat-obatan, hingga tenaga relawan berbagai bidang, peralatan transportasi, dan berbagai peralatan vital seperti instalasi penyuling air minum dan rumah sakit darurat.

Yang muncul belakangan justru ungkapan-ungkapan, reaksi serta keputusan-keputusan yang seakan merupakan wujud dari sikap tak berterima kasih. Seperti pernyataan beberapa kalangan dan sejumlah tokoh yang mencurigai adanya maksud terselubung di balik bantuan-bantuan yang terus mengalir itu. Lalu munculnya sentimen nasionalisme yang ngawur. Yakni merasa terhina, merasa harga diri bangsa diinjak-injak, lantaran ada beberapa ribu tentara asing tak bersenjata, yang terlibat secara aktif dalam operasi kemanusiaan si Aceh dan Nias. Bertiup pula isu Kristenisasi. Bahkan ada sejumlah tokoh yang melarang para koprban Tsunami untuk menerima bantuan dari kalangan non Muslim.

Sentimen-sentimen sempit kebangsaan dan keagamaan itu, anehnya muncul dari kalngan elit. Seperti ketua MPR asal partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid, serta sejumlah politikus DPR. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, alih-alih berterima kasih kepada masyarakat Internasional malahan mendesak pemerintah untuk membatasi operasi para relawan asing itu, cuma untuk sebulan saja.

Sejumlah orang sempat ikut menari dalam gendang yang ditabuh Hidayat Nur Wahid. Bahkan termasuk Menko Kesra, Alwi Sihab, yang merupakan orang nomor satu dalam penanganan bencana ini. Seterusnya, pemerintah malahs empat berencana untuk memberi tenggat waktu tanggal 26 maret bagi keterlibatan relawan dan tentara asing itu. Namun kemudian sesuah mendapat berbagai reaksi, pemerintah meralatnya.

Untunglah tidak semua tokoh dan pemimpin kita dibutakan akal sehatnya oleh nasionalisme buta, sentimen perkauman dan keagamaan sempit dan kepentingan politik sesaat. Panglima TNI Jenderal Endriartono Soetarto, di luar dugaan justru menentang kecaman terhadap kehadiran tentara asing di Aceh. Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Jendral Soetarto bahkan bertanya, apakah demi apa yang dipercaya sebagai kehormatan bangsa, kita akan merelakan rakyat Aceh mati tak tertolong.

Jenderal Endriartono Soetarto di luar dugaan, mengambil posisi yang sama dengan para aktivis, intelektual, pekerja kemanusiaan, dan kalangan LSM. Bahwa pembatasan bagi relawan dan tentara asing itu tidak boleh datang dari keputusan politik. Melainkan harus dari kebutuhan penyelamatan korban. Jika korban sudah sepenuhnya terselamatkan, kehidupan normal sudah mendekati pulih, relawan dan tentara asing itu tak lagi diperlukan. Dan mereka akan angkat kaki sendiri.

Demikianlah. Pemerintah telah menyampaikan terima kasih secara resmi kepadaa dunia. Panglima TNI sudah mengakui betapa vitalnya bantuan tentara dan relawan asing dalam operasi kemanusiaan yang memang berskala raksasa itu. Tetapi mengapa masih ada kalangan sipil dan politikus yang justru sibuk dengan prasangka dan kecurigaan terhadap keterlibatan dunia dalam membantu menangani bencana Aceh dan Nias itu? ***