Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Wednesday, January 05, 2005

Berlomba dengan Waktu, dan Kini dengan Pasar

Selama hampir dua minggu ini, sejak 26 Desember, kita berlomba dengan waktu dalam memberikan bantuan terhadap korban Tsunami di Aceh dan Nias. Dalam waktu singkat, terkumpul puluhan ribu ton makanan dan obat-obatan, ratusan juta hingga puluhan milyar dana segar. Tetapi pasokan dana dan barang yang sangat dibutuhkan korban Tsunami di Aceh dan Nias itu berhadapan dengan kendala distribusi.

Sebagian besar sumbangan dalam bentuk barang, sempat menggunung di berbagai titik. Terutama bandara dan pelabuhan. Baik di Jakarta, Medan, maupun Banda Aceh. Gara-garanya, kita tahu, adalah masalah transportasi. Pertama, terbatasnya alat angkut dari Jakarta dan Medan menuju Aceh. Kedua lebih terbatasnya lagi alat angkut dari banda Aceh ke berbagai lokasi korban. Khusus di Aceh, terbatasnya alat angkut ini ditambah lagi dengan minimnya bahan bakar, serta hancurnya infrastruktur. Tidak banyak jalan yang bisa dilalui kendaraan. Baik karena jalannya hancur berantakan, juga karena jalannya tertutup gunungan macam-macam sampah, rongsokan, serta benda apa saja yang waktu itu disapu dan diporak-porandakan gelombang tsunami raksasa. Plus lumpur, genangan air, dan mayat puluhan ribu manusia serta bangkai binatang yang bergeletakan tak tgerurus. Sehingga untuk beberapa tempat, sampai sekarang distribusi bantuan lewat udara adalah satu-satunya cara yang mungkin.

Seluruh upaya bantuan, harus berlomba dengan waktu. Sebagian dari korban dipastikan tewas karena tidak berhasil memperoleh bantuan pada waktunya. Terutama yang terluka akibat Tsunami. Juga yang kemudian menderita penyakit yang biasa berkecamuk mengikuti suatu bencana, akibat udara dan air tercemar, serta terbatasnya pangan.
Makin hari, kendala distribusi makin teratasi. Itu berkat prakarsa berbagai lembaga swadaya, dan komunitas internasional. Lebih-lebih setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan perhatian yang lebih khusus. Berbagai negara Barat mengirimkan peralatan-peralatan angkut seperti helikopter, pesawat, dan kendaraan medan berat, juga peralatan berat untuk membersihkan jalan dan infrastruktur lainnya.

Tetapi kini, muncul perkembangan baru, khususnya di banda Aceh. Kehidupan di ibu kota Nangroe Aceh Darussalam itu berangsur-angsur dipulihkan, dan muncullah pemandangan yang sudah tak terlihat sejak 26 desember: yakni kegiatan jual beli, alias pasar. Di beberapa tempat di Banda Aceh, mulai muncul pedagang yang menjual berbagai makanan sehari-hari, seperti daging ayam, telur, mie instan dan lain-lain. Dan harganya gila-gilaan, mendekati dua kali lipat dari harga normal. Alasannya, tentu saja karena kelangkaan, dan kesulitan angkutan.

Kembalinya pasar mestinya merupakan pertanda baik bagi pulihnya kehidupan di area bencana. Masalahnya, terdapat puluhan, hingga jutaan ton bantuan makanan yang dikumpulkan ribuan kalangan untuk dibagikan pada seluruh penduduk Aceh, yang menjadi korban malapetaka ini. Juga dana puluhan milyar dari dalam negeri, serta milyaran dolar dari komunitas internasional. Seakan-akan, seluruh stok makanan dan obat-obatan bantuan itu sekarang harus berlomba dengan pasar. Itupun pasar yang tidak normal, yang harganya mencekik. Memang, beberapa yang ditawarkan pasar itu adalah makanan segar yang tidak mungkin diperoleh dari para pengumpul bantuan, karena bukan makanan yang awet disimpan. Misalnya telur, ayam dan sayuran. Tetapi tetap saja, munculnya pasar ini seperti merupakan pertanda akan adanya masalah besar dalam penyaluran bantuan. Bahwa pasar bekerja lebih cepat ketimbang bantuan dari berbagai lembaga. Dan ini merupakan sebuah tamparan bagi seluruh upaya bantuan berbagai kalangan masyarakat
selama ini.

Satu hal lagi tentang pasar: kita harus memastikan bahwa tidak ada satupun barang yang dijual di pasar itu yang berasal dari bantuan yang diselewengkan. Praktek pencurian makanan bantuan, untuk dijual di pasar, merupakan praktek jahat dan memalukan yang tidak boleh lagi terjadi.

Kita tentu tak bisa menyalahkan para pedagang yang bermunculan di Banda Aceh. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah bekerja lebih keras dan lebih efisien agar segala bantuan itu sampai secpatnya kepada yang membutuhkan. Jangan sampai pasar datang duluan kepada mereka. Jangan sampai mereka menjual apa saja yang tersisa untuk bisa membeli makanan dari para pedagang dengan harga tak masuk akal, hanya karena kita tidak gagal menjangkau mereka secepatnya.
Saudara, sesudah berlomba dengan waktu, upaya-upaya bantuan terhadap korban Tsunami di Aceh dan Nias kini harus pula berlomba dengan pasar. ***