Halaman Depan   Laporan Utama   Tajuk 68H   Profil 68H   Agenda 68H

Monday, January 10, 2005

Memikirkan Masa Depan Anak Aceh

Menginjak hari ke-16 bencana tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara, penanganan darurat operasi penyelamatan dan evakuasi korban masih terus berjalan. Kondisi darurat di Kota Banda Aceh mungkin relatif sudah berhasil ditangani, baik masalah evakuasi jenazah maupun penyediaan infrastruktur vital. Meski semua masih dalam keadaan minim. Sebagian tanda-tanda kehidupan mulai bangkit, seperti munculnya pasar yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari.

Hingga hari ini jumlah korban tewas akibat tersapu gelombang tsunami sudah menembus angka di atas 100 ribu jiwa. Sedangkan jumlah pengungsi yang terdata mencapai 700-an ribu jiwa. Angka-angka ini pasti jauh lebih rendah dari keadaan yang sebenarnya mengingat belum semua kawasan yang dilanda bencana bisa ditembus hingga hari ini. Hancurnya fasilitas komunikasi dan terputusnya akses jalan darat menjadi penyebab utama sulitnya mendapatkan data secara akurat. Ini masih ditambah amburadulnya koordinasi, baik di tingkat pusat maupun di lokasi bencana sendiri.

Dalam situasi seperti ini, yang harus menjadi prioritas sekarang adalah menyelamatkan mereka yang masih hidup. Karena sungguh tipis harapan, mereka yang dikategorikan hilang bisa bertahan hidup tanpa bantuan dari luar. Dan di antara mereka yang selamat, anak-anak korban bencana wajib menduduki peringkat paling atas untuk diselamatkan masa depannya.

Tapi sejak awal harus kita ingatkan, penyelamatan masa depan anak-anak korban bencana bukan berarti adopsi. Isu adopsi sempat merembet kemana-mana sejak pekan lalu, mulai dari isu perdagangan anak hingga sentimen keagamaan. Yang terakhir ini tampaknya sengaja diembuskan kelompok tertentu karena kita tak pernah menemukan faktanya di lapangan. Relawan yang membantu penanganan kondisi darurat, khususnya di Nangroe Aceh Darussalam, datang dari berbagai lapisan dan bermacam latar belakang etnis dan agama. Dan sejauh ini, kita melihat mereka memang bekerja hanya di atas landasan kerja kemanusiaan. Tidak lebih tidak kurang.

Desain penyelamatan anak-anak Aceh, lebih dari apa pun, sudah harus tersedia konsepnya sejak sekarang. Di tangan mereka lah masa depan rakyat Aceh kelak ditentukan. Menyelamatkan anak-anak korban bencana ini bukan berarti harus membawa mereka keluar dari wilayah Aceh. Karena ini hanya akan mencabut mereka dari akar budayanya sendiri. Proses pendidikan yang lebih bersandar pada akar budaya dan lingkungan sendiri jauh lebih berharga bagi masa depan anak-anak ini. Dan itu sepenuhnya harus menjadi tanggungjawab negara.

Bencana dahsyat gempa dan tsunami ini pasti membekas kuat di benak anak-anak itu. Trauma ini tak mudah dihilangkan. Butuh proses penyembuhan atau healing yang jangka waktunya sangat tergantung kondisi psikologis masing-masing anak. Justru itu, penanganan anak-anak korban bencana harus berbeda dengan teman-teman sebayanya di luar wilayah bencana. Desain inilah yang kita tunggu dari pakar lintas disiplin ilmu, yang hasilnya semoga bisa dirangkum dengan cemerlang oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Proses belajar-mengajar dalam keadaan darurat yang kini sudah mulai dilangsungkan di beberapa wilayah pengungsian merupakan langkah awal yang baik agar mereka bisa segera bangkit dari trauma. Tapi itu saja tak cukup. Dana besar yang berhasil digalang pemerintah, baik dari dalam negeri maupun internasional, sebagian harus diinvestasikan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan anak-anak korban bencana.

Jangan sampai masa depan anak-anak ini hilang akibat penanganan yang keliru. Jangan sampai mereka menjadi generasi yang hilang. Lebih-lebih, jangan sampai masa depan mereka menjadi korban akibat dana yang mestinya disediakan untuk mereka, habis dikorupsi. Kita semua wajib menyelamatkan anak-anak itu.